0
On this Article
Home  ›  Tidak Ada Kategori

Songkok Recca, Khas Bugis dari Paccing





















WATAMPONE, FAJAR -- Songkok Recca atau Songkok To Bone merupakan produk kopiah tradisional yang memiliki ciri khas yang berasal dari Kabupaten Bone. Keberadaan Songkok To Bone tak bisa dipisahkan dengan salah satu desa di Kecamatan Awangpone, yakni Desa Paccing.

Desa Paccing adalah pusat pengrajin songkok To Bone. Sebagian besar warganya merupakan pengrajin songkok To Bone. Para pengrajin itu didominasi oleh kalangan ibu rumah tangga (IRT).

Songkok yang dibuat di desa ini memiliki ciri khas karena terbuat dari serat pelepah pohon lontar, yang memang banyak tumbuh di desa ini. Pembuatan songkok  masih bersifat tradisional. Para IRT menganyam songkok dengan dudukan kayu yang disebut oleh warga sekitar dengan Assareng. Assareng dibuat dari kayu pohon, yang sudah didesain khusus berbentuk kepala manusia, untuk merangkai serat pelepah lontar menjadi songkok.

Ihwal namanya (recca, red)  diperkirakan berasal dari cara pembuatannya yang menggunakan bahan baku dari serat pelepah daun lontar yang dipukul-pukul (dalam bahasa Bugis: direcca-recca).

Salah seorang pedagang songkok To Bone di Desa Paccing, H Rahman mengatakan, harga sebuah songkok tergantung dari kualitas pinggiran songkok. Dari mulai puluhan ribu hingga puluhan juta rupiah. Menurut dia, jika songkok tradisional ini pinggirannya dilapisi emas dengan kadar 80 persen dengan lebar lapisan emasnya 2 centimeter, maka harganya berkisar Rp16 juta.

Bahkan, bisa mencapai puluhan juta rupiah, tergantung berapa banyak area pada songkok yang akan dilapisi emas. Songkok To Bone dengan pinggiran emas itu, merupakan produk songkok yang diakuinya paling banyak dicari. Pasalnya, kata dia, pinggiran songkok itu memang dilapisi emas. Emasnya sendiri, kata dia, dijadikan benang menggunakan alat khusus. Emas yang sudah menjadi benang itu, kemudian dianyam pada dudukan Assareng atau pembuat pola bentuk songkok.

Songkok To Bone tak hanya diminati oleh warga Kabupaten Bone saja, tetapi warga dari daerah lain banyak datang ke Desa Paccing untuk membeli Songkok ini. Bahkan, Songkok To Bone sudah memiliki peminat hingga ke luar negeri. Di antaranya, Malaysia, Brunai Darussalama, Singapura, dan India.

Salah seorang pengrajin Songkok To Bone, Eva Susanti, mengatakan, untuk pembuatan songkok masih menggunakan alat tradisional, dan keahlian masyarakat di Desa Paccing sebagai pengrajin Songkok To Bone, itu merupakan keahlian turun temurun.

Eva mengatakan, dalam seminggu dia bisa menghasilkan 1 hingga 2 buah Songkok To Bone, yang kemudian dijualnya ke sejumlah pedagang di desa ini. Permintaan songkok itu sendiri, semakin meningkat pada bulan Agustus jelang peringatan HUT Proklamasi RI.

Cara pembuatan songkok ini, kata dia, proses awalnya harus memisahkan terlebih dahulu serat dari pelepah pohon lontar, yang kemudian dikeringkan dan dihaluskan. Setelah kering, serat itu kemudian mulai dianyam dengan menggunakan Assareng atau pembuat pola bentuk songkok.

Eva menambahkan, setelah songkok itu sudah terbentuk, langkah selanjutnya dilakukan pewarnaan pada songkok dengan pewarna alamiah. "Pembuatannya untuk satu buah songkok membutuhkan waktu satu minggu," jelasnya, Selasa, 9 Oktober.

Terpisah, Kepala Desa Paccing, Sainuddin mengatakan, masyarakat di desanya sebagian besar sebagai pengrajin Songkok To Bone, yang didominasi oleh perempuan. Keahlian warganya itu, jelasnya, diwariskan secara turun temurun. Menurutnya, pengrajin Songkok To Bone menjadi salah satu penghasilan warga di desanya.

Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Bone, M Asa'ad, mengatakan, sejak dulu sampai sekarang, Desa Paccing menjadi pusat pengrajin Songkok To Bone. Keberadaan songkok itu, kata dia, diyakini sejak zaman pemerintahan Andi Mappanyukki sebagai raja Bone ke 31.

“Dahulu, songkok ini menunjukkan strata sosial dari yang menggunakannya,” ujarnya.

M Asa’ad menambahkan, pihaknya giat melakukan pembinaan kepada para pengrajin yang berada di Desa Paccing. Apalagi masyarakat setempat sudah membentuk kelompok untuk memproduksi songkok ini.

Dia merinci dalam melakukan pembinaan kepada para pengrajin di Desa Paccing, ada 4 orang Tenaga Penyuluh Lapangan-Industri Kecil dan Menengah (TPL-IKM) yang memberikan penyuluhan terkait manajemen pengelolaan produk dan pemasaran kepada para pengrajin di Desa Paccing. "Bahkan jika ada pameran terkait industri kecil dan menengah, beberapa pengrajin diikutsertakan," jelasnya.

Selain itu, tambah dia, pihaknya juga memberikan penyuluhan kepada para pengrajin terkait pengelolaan dan pemasaran produk unggulan Kabupaten Bone ini. Serta memberikan pemahaman kepada pengrajin terkait mutu produksi. Apalagi, kata dia, pemasaran Songkok To Bone tidak dalam skala lokal saja, tetapi nasional, bahkan internasional. (eds/ars)
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share
Additional JS