Hari Ibu, Tanpa Dia.
Sebuah pesan singkat, menghentakku kala saya masih terbuai keinginan tidur. Ternyata, isipesannya mengucapkan. "Selamat Hari Ibu."kata pada pesan singkat itu. Pun, membalas pesan singkat tersebut dengan kata. "Selamat hari Ibu juga, namun aku sekarang tak mempunyai Ibu,"Ketikku pada ponselku. Saya tahu, disetiap Desember di penanggalan 23 menjadi Perayaan Hari Ibu, tidak itu saja pada tanggal 18 di bulan yang sama, 4 hari sebelum hari Ibu, menjadi tanggal miladku. Sehingga hari ibu sangat berkesan bagiku.***
Di salah satu stasiun tv nasional, saya menyimak sebuah pemberitaan tentang sosok ibu yang membesarkan anaknya yang berjumlah 17 Orang (Kalau tidak salah,red), dan semua anaknya bersekolah walaupun ibu itu mengasuh anaknya seorang diri (Single Parent's), setelah di tinggal mati suaminya. Sebuah dedikasi betapa besarnya kasih sayang ibu kepada anak-anaknya.
Pun, aku memindahkan siaran tv, lagi-lagi pemberitaan tentang sosok ibu. Tetapi, pemberitaan kali ini memiriskan hatiku. Betapa tidak, seorang ibu tua renta di terlantarkan oleh anaknya, Sebuah Kontradiksi antara pengorbanan Ibu kepada Anaknya. Pun, sebaliknya Anak yang membalas pengorbanan Ibunya dengan balasan yang tak setimpal. Pengorbanan ibu, bak mentari menyinari Bumi, ia tak mengharap balas jasa dan budi atas pengorbanannya selama ini kepada anak-anaknya.
Benar kata Almarhumah, (Ibuku,red), kasih sayang ibu merupakan pencurahan keikhlasan akan kebahagiaan anak itu sendiri, agar kelak menjadi orang yang berguna.Tak ada seorang pun, sosok ibu di dunia ini mau melihat anaknya menderita. Sehingga demi kebahagian anaknya, kadangkala ibu harus berkorban demi memenuhi kebutuhan serta keinginan anak-anaknya.
Hal itu pula yang kualami, saat berkeinginan untuk menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Makassar. Keinginan itu pun, ditentang oleh sejumlah saudaraku. Pasalnya, mereka menilai tidak memiliki keseriusan untuk berkuliah.
Ku akui, kenakalan diriku yang menjadi alasan oleh saudaraku, agar sebaiknya aku tak usah menempuh pendidikan yang setinggi-tingginya. Mereka takut, jika nantinya kenakalan saya yang semakin menjadi-jadi saat menempuh perkuliahan, seperti bolos, berkelahi, dan masih banyak lagi uraian kenakalan lainnya.
Namun dengan ketenangan nan kebijaksanaannya. aku pun di bolehkan tuk melanjutkan kuliah. Pesan yang kerap kali Ia ungkapkan yang membuatku menitikkan air mata.“Janganlah kau membuat seorang ibu menitikkan air matanya karena perlakuan seorang anak kepada ibunya, karena kelak kau tak akan mendapatkan kebahagian baik dunia maupun akhirat, pabila kita durhaka kepada Ibu,“urainya semasa ia masih hidup. Perumpamaannya, kata dia, jika mau membalas kasih sayang seorang ibu, berapa pun banyaknya harta yang dimiliki, itu pun tak cukup membalasnya.
Sosok lemah lembut itu, amat sangat memberi warna kehidupanku selama ini. Menjadi inspirator di ruang kosong jiwaku, di kala butuh tempat tuk sekedar berbagi perasaan, keinginan, serta pikiran. Sepeninggal beliau, tiada lagi tumpuhan tuk menyejuk jiwa. Namun, sesekali singgungan senyumannya hiasi memoar tiap detik perjalananku, memberikanku spirit tuk bangkit dari keterpurukanku.
Semoga, momentum hari ibu kali ini, benar-benar menjadi awal bagi Aku, Kamu, serta kita semua. Tidak sekedar menjadikan Hari ibu hanya Ceremonial semata, tetapi di wujudkan dengan esensi diri nan kesadaran diri (Self Awarnes) atas pengakuan diri akan dosa kita yang kita perbuat kepadanya. Dan patritkan di jiwa kita, Kecintaan Ibu sepanjang masa nan senantiasa menerangi kehidupan kita ibarat pelita.
(Catatan menjelang pergantian Penanggalan 22 Ke 23, di Washilah,Alauddin, Makassar)