0
On this Article
Home  ›  Tidak Ada Kategori

Menengok Aktifitas Perempuan Pandai Besi


  
   Lazimnya pandai besi itu merupakan pekerjaan laki-laki. Namun, di kaki Gunung Bawakaraeng, tepatnya di Dusun Puncak, Desa Gunung Perak, Kecamatan Sinjai Barat, kita dapat menjumpai sejumlah perempuan pandai besi.

   Laporan Edy Arsyad, Sinjai.

     Dentuman palu silih berganti dengan ritme teratur terdengar dari bilik ukuran  3 x 6 M. Terdapat tiga perempuan dalam bilik tersebut. Masing-masing mempunyai tugas. Satu perempuan di bagian atas yang tak hentinya mengayunkan dua  tongkat bambu  kedalam tabung kayu, yang didesain sebagai Blower untuk memompa bara api, agar tungku api terus membara. Dua perempuan lainnya, memukul besi dengan palu.

   Dinginnya hawa di kaki Gunung Bawakaraeng tidak terasa, saat berada di bilik yang disebut "pammanrean" bagi warga di Dusun Puncak, Desa Gunung Perak. Ditempat inilah, mereka beraktifitas membuat sejumlah parang, pisau dapur dan peralatan pertanian lainnya.

     Api pun terus membara dari tungku, dan sesekali diberi arang.  Salah seorang perempuan pandai besi, Nanneng, memasukkan sebatang besi. Usai dipanaskan, besi yang dipendamkan pada tungku, diangkat dengan penjepit. Kemudian, dipukul dengan palu hingga besi yang membara tersebut melempeng.

    Aktifitas pandai besi bagi ketiga perempuan ini, yaitu Nanneng, Junaeda, dan Manni, merupakan pekerjaan tetap bagi mereka.  Karena itu merupakan  satu-satunya mata pencaharian yang harus dilakoninya. Menurut Nanneng, apa yang dilakoninya itu sudah menjadi warisan leluhurnya. Bahkan, kata dia, waktu suaminya masih hidup, dia tetap bergelut dengan palu,besi, dan bara api.

    "Pandai besi ini merupakan satu-satunya mata pencaharian saya. Dan hanya pekerjaan inilah yang saya tahu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena tidak ada keahlian lain, selain pandai besi,"tutur, Janda tiga anak ini.
  
    Dia menceritakan, awal mula mengenal pandai besi. Saat itu, katanya, dia masih  berumur remaja, orang tuanya sudah memperkenalkannnya. Hanya saja, saat itu, dia masih belajar membuat pisau dapur. "Jadi memang saat itu, perempuan sudah diajarkan untuk membuat pisau dapur,"jelasnya.

   Menurut Nanneng, dia merupakan generasi ke enam, dari pandai besi di dusun tersebut. Pengetahuannya sebagai pandai besi diajarkan orang tuanya. Dia menjelaskan, pada generasi ke empat, para perempuan sudah memulai belajar membuat parang. Sehingga, sampai sekarang, yaitu generasi ke enam, warisan itu tetap ada.

    Dalam sehari, Nanneng mengaku, dapat memproduksi tiga sampai lima parang. Hal itu, tergantung dari orang yang memesannya. Terkadang, jika ada pembeli yang datang untuk memesan parang atau peralatan pertanian dalam jumlah banyak, dia pun harus menyelesaikan lima atau lebih, tergantung pesanan saja. Produksinya, bahkan tersebar hingga ke Sulawesi Tenggara.


   Dia menceritakan, dukanya menjalankan aktifitasnya sebagai pandai besi. Akibat pekerjaannya itu,tutur Nanneng, kulit di telapak tangannya kasar, karena setiap hari dia harus memukul besi yang sudah membara. Selain itu, terkadang percikan api dari pukulan palu ke besi yang membara, mengenai kulitnya. "Terkadang juga malu, karena kulit telapak tangan saya kasar. Juga kulit ini banyak bekas lukanya, akibat percikan api,"ungkap Nanneng,sembari memasukkan besi kedalam tungku api yang membara.

   Di Dusun tersebut, ada sekira 14 unit bilik atau pammanreang. Dan di dominasi dari pandai besi berjenis kelamin perempuan. Bahkan, karena  dusun tersebut, warganya sebagian besar bergelut sebagai pandai besi, maka jalan di dusun tersebut, diberi nama Jalan Pandai Besi.
1 komentar
Search
Menu
Theme
Share
Additional JS