Sosial Media
0
News
    Home Barzanji Makassar Kampung Paropo Kerajaan Gowa Maudu Lompoa Pepe-pepeka Ri Makkah

    Kampung Paropo, Maulid Pertama Kerajaan Gowa yang Masih Hidup Hingga Kini

    "Kampung Paropo Makassar masih melestarikan Maulid Nabi dengan tradisi unik: Barzanji, telur hias, hingga atraksi Pepe’-peka yang penuh mistis."

    2 min read

    Langit mendung menyelimuti Makassar malam itu. Namun, suasana religius tetap terasa di Masjid Nurul Ma’arif, Paropo, Panakkukang. Usai Magrib, jamaah duduk bersila di panggung, mengenakan gamis putih dan peci, siap melantunkan Barzanji.

    Dipimpin Gurutta Ustaz H. Jafri Baco, lantunan zikir bergema. Kadang lirih, kadang melengking, disambut jamaah lainnya. Di bawah panggung, seorang lelaki tua larut dalam bacaan yang ia hafal di luar kepala. Tak heran, sebab Paropo sejak lama dikenal sebagai pusat belajar Barzanji.

    Di panggung 5x6 meter itu, tua dan muda menyatu. Bait demi bait kisah Nabi Muhammad dilantunkan, diiringi deretan telur hias warna-warni di bakul berisi kanre maudu—penganan khas Maulid. Malam Kamis, 17 Februari, Jalan Paropo 2 dipadati pengunjung hingga kursi tak mencukupi.

    “Di Kampung Paropo lah Maulid pertama diadakan di Kerajaan Gowa. Paropo saat itu ibarat serambi Mekkah bagi kerajaan bagian utara. Karena itu, tradisi ini wajib kita lestarikan,” tutur H. Jafri Baco.

    Namun ia juga menyayangkan minimnya perhatian pemerintah. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Makassar, Rusmayani Madjid, menanggapi dengan menyebut acara ini hasil kerja sama pengurus masjid, pemuda Paropo, dan dinas terkait.

    Malam semakin larut, tapi suasana kian semarak. Lelaki berpakaian adat Bugis-Makassar naik ke panggung dengan obor, diiringi rebana, gendang, biola, dan gong. Mereka memainkan atraksi mistis Pepe’-peka ri Makkah—membakar tubuh sendiri namun tak tersentuh api. Penonton terkesima, bahkan ada yang diarak keliling panggung dengan tubuh menyala.

    Lebih dari sekadar ritual, Paropo adalah kampung tua penuh sejarah. Dahulu masuk wilayah Kerajaan Gowa, kampung ini dikenal dengan sebutan Kampong Karrasa’ (keramat) hingga Kampong Tupanrita. Tokoh besar seperti I Janggo’ Cambang Paropo, prajurit bergelar Tubarani Pa’lapa’ Barambanna Karaeng ri Gowa, ikut mempertahankan kerajaan bersama Sultan Hasanuddin.

    Warisan budaya pun melimpah. Dari Ganrang Bulo 1942, Pallawa Paropo, hadrah, hingga Maudu’ Lompoa—tradisi Maulid besar yang melibatkan kampung-kampung sekitar seperti Tamamaung, Pampang, Antang, hingga Marusu.

    Filosofi Paropo pun unik. Disebut kampong nipanjakkali juku, kata juku (ikan) dimaknai sebagai julu kana (ucapan yang dijaga), julu ati (ketulusan hati), dan julu paggaukang (kesungguhan perbuatan).

    Konon, Paropo juga jadi tempat rekreasi raja-raja Gowa untuk makan ikan bersama. Di sini terdapat pakkatuwoang juku, kolam ikan yang tak pernah kering karena sumber airnya melimpah.

    Di sisi lain, Jam’iyah Khalwatiyah Syekh Yusuf Al-Makassary juga menggelar Maulid. Tak ada telur hias, melainkan sembako yang dibagikan. “Kami ingin maulid ini bukan hanya seremonial, tapi momentum kasih sayang. Islam hadir sebagai rahmatan lil alamin—rahmat bagi semesta,” ujar KH Syekh Sayyid A Rahim Assegaf.

    Meski berbeda bentuk, semangatnya sama: Maulid adalah wujud cinta kepada Nabi Muhammad SAW dan ruang silaturahmi lintas generasi.

    Additional JS