Penyesalan Setelah Menikah
I Baco berwajah semringah duduk di pelaminan. Mempersunting pujaan hatinya, I Becce. Alunan musik Dangdut menggema dari organ tunggal elektone di gedung perhelatan perkawinan malam itu.
Satu persatu tetamu menyalami pasangan ini. Tentunya, mendoakan mereka menjadi keluarga bahagia. Mawaddah dan warahmah.
Ayah I Baco, La Cundekkeng pun tampak bahagia. Matanya binar dan sesekali mengumbar senyum. “Akhirnya anak kesayanganku, menikah juga,”batinnya.
Sesekali La Cundekkeng berada di tengah-tengah tetamuan yang duduk dan menikmati hidangan yang disiapkan. Ia pun menyalami dan mendapatkan ucapan selamat dari tetamu atas perkawinan anak semata wayangnya itu.
Seramai-ramainya pesta, akhirnya berakhir juga. Demikian pula pesta perkawinan I Baco.
Kendati kelelahan duduk di pelaminan, ia berusaha tersenyum kepada kerabat dan koleganya yang masih berada di gedung perkawinan itu.
I Baco tiba di kediamannya. Beberapa kerabat dan tetangganya memilih bermain domino di pekarangan. Sebelum memasuki kamar yang disiapkan khusus, I Baco memilih mendatangi kerabat dan tetangganya itu. Mereka mengobrol.
Sejam berlalu. I Baco pun pamit berniat menuntaskan hasrat “malam pertamanya”. Di dalam kamar sudah menanti I Becce. Kedua hati pasangan ini, berdebar tidak karuan. Terdengar dari luar kamar suara obrolan mereka. Sesekali terdengar tawa I Baco. Tak berselang lama. Lampu pun padam.
Ke esokan harinya, I Baco duduk termenung. La Cundekkeng menghampiri anaknya itu.”Kenapa Nak, kok masih pagi-pagi begini sudah termenung. Apa yang kau pikirkan?,”tanya La Cundekkeng untuk mengetahui apa gerangan yang membuat anak kesayangannya itu termenung. Sembari menepuk pundak anaknya tersebut.
I Baco yang termenung itu, kaget. Ia mencoba menjawab pertanyaan ayahnya. “Tidak ada yang saya pikirkan, Tetta. Hanya saja saya merasa menyesal sudah menikah,”uajrnya.
La Cundekkeng tak kalah kaget mendengar jawaban itu. Wajahnya mulai memerah. ” Bukankah, I Becce itu adalah kekasihmu dan juga merupakan pilihamu sendiri,”tanya Lacundekkeng dengan nada yang sengaja ditinggikan.
“Sabar, Tetta. Saya jelaskan dulu alasan mengapa ada penyesalan itu,”timpal I Baco berusaha menenangkan ayahnya yang sudah tampak marah.
“Iya kenapa,”kata Lacundekkeng.
Dengan suara pelan-pelan I Baco berusaha menjelaskan kepada ayahnya. “Karena menikah itu, hanya 70 persen enaknya,”bebernya.
“Terus,”timpal La Cundekkeng.
“Yah, sisanya 30 persen lebih enak lagi. Seandainya saya tahu menikah itu enak. Itulah yang membuat saya menyesal, kenapa tidak dari dulu saja, saya menikahi I Bacce,”ujar I Baco dengan senyum kepada ayahnya.
“Oh, kamma anjo. Kukana tommi menyesalko. (Oh, begitu. Saya kira kau menyesal),”tutur La Cundekkeng dengan bahasa Makassar.