Narasi yang Memikat
Sebagian besar pembaca Da Vinci Code mengaku bahwa narasi deskriptif Dan Brown memang menghanyutkan. Mereka merasa sedang mengendap-endap dalam kegelapan museum Louvre. Atau berlarian di kota Paris. Padahal narasi Dan Brown ini sangatlah panjang. Jika dikerjakan sembarangan, pembaca akan segera sadar sedang membaca buku dan mudah bosan. Salah satu kunci keberhasilan Dan Brown adalah membuat narasinya menarik untuk dibaca.
Jadi bagaimana agar kita dapat menulis narasi yang lebih menarik? Cukup gunakan dua prinsip ini: Pertama, libatkan sebanyak mungkin indra. Kedua, tunjukkan--jangan dijelaskan.
Banyak prosa yang hanya melibatkan dua indra: pendengaran dan penglihatan. Seperti contoh berikut.
Langit tampak cerah kala Dio melangkah dalam taman pamannya. Padahal malam sebelumnya hujan deras sekali. Taman itu penuh oleh berbagai rumpun dan bunga di satu sisi, dengan jalan tanah yang dihiasi rumput gajah. Ia menghampiri pojok kesukaannya, yang ditempati putri malu, soka, dan bunga trompet.
Namun, tiba-tiba seekor anjing menyeruak ke dalam taman sambil menyalak keras. Saking terperanjatnya, Dio tidak mampu bergerak.
Dengan prosa seperti ini, kita tidak membantu pembaca untuk membayangkan adegan. Kita pun hanya mendorong pembaca untuk melihat atau mendengar cerita.
Bantulah pembaca lebih jauh. Buat mereka melihat, mendengar, menyentuh, mengecap, berlari, hingga berteriak bersama tokoh-tokoh kita. Lalu tunjukkanlah melalui tokoh kita. Jangan sekadar menjelaskannya. Prosa di atas, misalnya, bisa kita ubah menjadi;
Telapak Dio memayungi matanya dari cahaya surya. Semburat biru langit memudar hingga putih di kejauhan. Bagai kanvas yang bebas dari gumpalan awan. Langkah Dio terasa lebih ringan menapaki kebun pamannya. Kakinya hanya bercawatkan sendal jepit, sehingga telapak rumput gajah langsung menggelitiki kulitnya. Ia berhenti dan berjongkok, ganti menjawil serumpun putri malu yang langsung menyelubungi diri. Wangi tanah basah menyusupi hidungnya. Beralih ke sebelah, Dio memetik lembut sekuntum bunga soka. Ia mengendusnya, seraya menggesekkan bunga putih kekuningan itu ke hidungnya. Lantas ia hisap cairan di pucuknya. Manis walau sesaat. Lidahnya mencari-cari, tapi rasa itu telah lenyap.
Dio berniat memetik sekuntum soka lagi sebelum dibatalkan kerikan jangkrik. Membungkuk, Dio mencari-cari. Semakin keras kerikan, semakin awas gerakannya. Perlahan, ia membelai dan menepis serumpun bunga terompet. Dan ia menemukannya! Menempel di batang terdalam, hijau jangkrik itu menyatu dengan tempatnya hinggap. Tak bersuara. Sang jangkrik mempertaruhkan keselamatannya pada sunyi. Tangan Dio maju, dua jari membentuk capit. Sedikit lagi sayap jangkrik akan terkunci dan...
FWOGH-WOGH-WOGH-WOGH! WOOGH! WOOGH!
Dio terlompat mundur. Kedua tangannya lepas kendali hingga membentur dahi. Erangan pendek terlepas dari mulutnya. Hanya itu, selagi ia melihat seekor anjing berlari ke arahnya sambil menyalak keras. Kaki Dio seperti terpaku ke tanah. Mulutnya tersumpal. Matanya melekat pada barisan taring anjing yang berselaput liur.
Kalau begitu, apakah jadinya tulisan yang lebih panjanglah yang lebih menarik? Tidak juga. Karena kita tidak akan menggunakan pendekatan ini untuk semua adegan. Justru dengan membiasakan diri untuk menunjukkan, alih-alih menjelaskan, kita akan dapat membedakan antara adegan yang penting dan yang tidak.
Contoh di atas akan tepat kala inti yang ingin kita sampaikan adalah keterikatan tokoh Dio dengan kebun pamannya. Namun, akan salah jika inti cerita ternyata anjing baru paman Dio.
Buatlah adegan penting menjadi lebih memikat. Dan potong habis adegan yang tidak penting. Inilah yang membuat cerita menjadi memikat.
Latihan Pribadi
Pilihlah sebuah cerita lama. Ambil satu bagian penting narasi yang hanya melibatkan satu atau dua indra. Dalam waktu lima belas menit, cobalah tulis ulang. Libatkan sebanyak mungkin indra. Tunjukkan, jangan jelaskan. Setelah selesai, bandingkan dengan tulisan awalnya.
(Sumber: http://kedaipenulis.blogspot.com/2009/04/narasi-yang-memikat.html)