Tips Menjadi Penulis Narasi
Banyak orang bercita-cita menjadi penulis. Tapi banyak dari
mereka yang kemudian menyerah, karena selalu gagal menjadi penulis yang baik.
Memang, untuk menjadi penulis, diperlukan bakat. Namun, bakat juga bukan faktor
penentu, melainkan latihan terus-menerus yang membuat seseorang bisa menjadi
penulis.
Untuk menjadi penulis narasi, pertama-tama kita harus
menguasai konsep dasar yang lazim digunakan para jurnalis dalam mencari dan
meliput suatu peristiwa.
Seperti kita tahu, dalam jurnalistik, kita mengenal konsep dasar penulisan berita yaitu 5W+1 H atau What (apa), Who (siapa), Where (di mana), When (kapan), Why (mengapa), dan How (bagaimana). Jika semua unsur itu sudah dimiliki, tugas kita adalah menemukan dan memastikan jalan cerita, yang dibangun dengan konsep 5W+1 H tersebut.
Seperti kita tahu, dalam jurnalistik, kita mengenal konsep dasar penulisan berita yaitu 5W+1 H atau What (apa), Who (siapa), Where (di mana), When (kapan), Why (mengapa), dan How (bagaimana). Jika semua unsur itu sudah dimiliki, tugas kita adalah menemukan dan memastikan jalan cerita, yang dibangun dengan konsep 5W+1 H tersebut.
Karenanya, mutlak, sang jurnalis harus senantiasa punya rasa
ingin tahu yang besar tentang banyak hal dan senantiasa kritis-skeptis. Hal ini
juga bukan mutlak harus dipunyai wartawan, melainkan juga oleh orang-orang yang
ingin menjadi penulis, terutama penulis narasi.
Apakah tulisan narasi itu? Apakah dia sama dengan tulisan
in-dept (laporan mendalam). Pengetahuan yang saya peroleh dari guru saya dalam
pelatihan, menyebutkan tulisan narasi lebih dalam dari in-depth reporting,
yaitu tak hanya melaporkan seseorang melakukan apa, tapi ia masuk ke dalam
psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu. “Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik,”
kata guru saya.
Apakah penulis narasi perlu menguasai dan memanfaatkan unsur
5W+1 H? Iya, mutlak harus. Karena tulisan narasi itu harus benar-benar
berdasarkan fakta. Tak boleh hasil rekayasa apalagi karangan penulis. Ingat,
unsur 5 W+ 1 H dalam tulisan narasi merupakan pengembangan dari unsur dasar
jurnalistik.
Guru menulis dari Poynter Institute, Florida, Roy Peter Clark, mengembangkan konsep 5 W+1 H sebagai berikut: Katanya, dalam tulisan narasi, What berubah menjadi plot/alur (peristiwa), Who menjadi karakter, Where menjadi setting/adegan, When menjadi kronologi, Why menjadi motivasi/motif, dan How menjadi narasi. Nah, rumus 5 W + 1 H tetap dipakai, bukan?
Guru menulis dari Poynter Institute, Florida, Roy Peter Clark, mengembangkan konsep 5 W+1 H sebagai berikut: Katanya, dalam tulisan narasi, What berubah menjadi plot/alur (peristiwa), Who menjadi karakter, Where menjadi setting/adegan, When menjadi kronologi, Why menjadi motivasi/motif, dan How menjadi narasi. Nah, rumus 5 W + 1 H tetap dipakai, bukan?
Tulisan narasi atau narrative journalism bermula dari
kegusaran Tom Wolfe, wartawan yang pernah bekerja untuk The Washington Post,
New York Herald Tribune, Springfield Union. Dia menerbitkan buku antologi The
New Journalisme. Di Indonesia, narrative journalism diterjemahkan sebagai
Jurnalisme sastrawi. Namun, guru saya, Janet Steele tidak begitu suka dengan
terjemahan ini. Dia lebih senang menyebutkan narrative journalism.
Meski disebut jurnalisme sastrawi, namun jurnalisme narasi
ini bukan laporan fiksi. Dalam tulisan narasi, sastra hanya diadopsi cuma untuk
unsur gaya. Fakta tetap jadi bahan maha penting. Fakta tetap menjadi sangat
suci untuk dikotori.
Agar bisa menjadi penulis narasi, kita mutlak harus memiliki kemampuan
seorang wartawan (dalam mencari data dan fakta) dicampur dengan kemampuan
novelis (urusan gaya).
Ada empat (4) unsur tulisan narasi. Yaitu:
- Dalam bertutur menggunakan adegan per adegan (scene by scene contruction). Gaya bertutur di sini mirip seperti susunan skenario film, tanpa banyak penjelasan dari penulis. Melalui adegan, pembaca memahami perubahan cerita dengan sendirinya, tanpa harus dijelaskan.
- Immersion Reporting (Reportase menyeluruh). Artinya, penciptaan dialog terutama kutipan yang ekspresif/mengungkapkan. Ini bisa dilakukan dengan ketekunan mencatat kata-kata berbagai narasumber. Dari dialog, pembaca tahu apa yang terjadi, bagaimana kejadiannya. Bahkan bisa menilai narasumber dari cara dia bicara: Bagaimana karakternya, sikap dan pemikirannya.
- Menggunakan sudut pandang orang ketiga (Third Person Point of Views). Dalam tulisan narasi, memiliki banyak perspektif, termasuk dari sang penulis. Dengan alat ini jurnalis tidak hanya menjadi si pelapor. Ia bisa menjadi orang di sekitar tokoh, pembaca diajak masuk dalam cerita. Pembaca seakan berada di tiap keinginan, tiap pikiran dan pengalaman. Kata “SAYA” dipakai untuk mengikat cerita serta untuk akses ke sumber.
- Mencatat dengan detail status kehidupan karakter/tokoh: bisa gaya hidup, kebiasaan, cara bicara, karakter, pakaian, dekorasi rumah, termasuk pandangan-pandangan si karakter.
Intinya, sebagai jurnalis kita harus mewawancarai dia, segala
pikiran dan segala emosinya, sepanjang berhubungan dengannya. Bagaimana dengan
pemilihan tokoh? Jelas, tokoh itu haruslah menarik, karena memiliki banyak
kekurangan/tidak sempurna, kemudian terlibat konflik, dan konflik mengubah
dirinya menjadi orang baru.
(Sumber: http://www.acehpungo.com/2012/08/tips-menjadi-penulis-narasi.html)