Indahnya Pembauran, Meriahnya Cap Go Meh
Pui-pui Menyambut Chu Xi Kelinci
CAP Go Meh bukan hanya milik Tionghoa. Semua larut dalam kebersamaan.
JALAN Sulawesi berubah menjadi lautan manusia, Kamis malam, 17 Februari. Di salah satu pusat nadi ekonomi saat siang ini, berbagai ras manusia menyatu.
Ada barongsai, liong, dan pertunjukan ala Tionghoa lainnya. Ada juga penjual aneka macam penganan dan mainan anak-anak. Di langit, gantungan lampion seolah tiada putus.
Aroma hio sangat terasa. Apalagi di setiap kelenteng dan wihara juga berlangsung ritual. Di jalan ada pesta, di kelenteng ada sembahyang.
Kemarin adalah hari ke-15 imlek. Artinya, masa Cap Go Meh sudah tiba. Dan, puncak keriangan itu berlangsung semalam.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pesta Cap Go Meh kembali dipusatkan di sepanjang Jalan Sulawesi. Puncak acara berlangsung mulai pukul 18.00 yang ditandai dengan ritual sembahyang tutup tahun. Inilah titik awal masuknya Chu Xi atau malam pergantian tahun versi almanak China. Dari sini pula shio kelinci mulai memengaruhi manusia menggantikan shio macan yang telah berlalu.
Prosesi sembahyang pergantian tutup tahun dilakukan dengan cara berbeda-beda di beberapa tempat peribadatan Thionghoa. Ada yang dimeriahkan dengan pesta kembang api dan barongsai seperti di Kelenteng Xian Ma, Kelenteng Cu Su Kong, dan Wihara Ibu Agung Bahari.
Satu yang berbeda dan khas adalah di Kelenteng Cu Su Kong. Di tempat peribadatan Tionghoa asal Hokkian ini, ada musik pui-pui mengiringi ritual sembahyang. Ada bunyi simbal, gong, terompet, dan rincing-rincing. Umumnya mereka berusia lanjut. Kelenteng ini dipadati tidak saja Tionghoa, namun juga warga pribumi dan wisatawan domestik.
Hendra, 23, warga Jalan Cumi-cumi, mengaku sengaja datang ke Kelenteng Cu Su Kong hanya untuk melihat atraksi barongsai.
“Setiap tahun saya datang ke sini sama teman-teman. Dari sini kita ke Jalan Sulawesi, keliling kelenteng untuk lihat aksi seni,” kata Hendra.
Pemandangan tidak jauh berbeda terlihat di Kelenteng Xian Ma. Tempat peribadatan kaum Hokkian dan Kwanton beragama Buddha yang berada di sudut Jalan Bali dan Jalan Sulawesi.
Sejak sore kemarin, masyarakat sudah berdatangan ke kelenteng ini. Entah hanya untuk mengambil gambar sembahyang akhir tahun, atau pun sekadar melihat gempita Cap Go Meh.
Malam semakin dingin ketika barongsai mulai beraksi di depan kelenteng. Tidak hanya itu, pesona kembang api dan naga terbang yang dinakhodai 12 remaja. Semua pertunjukan ini bisa disaksikan dengan gratis.
Beberapa pemain adalah pemuda pribumi. Menurut Gunawan, pengurus Kelenteng Xian Ma, asimilasi seperti ini sudah ada berlangsung sejak beberapa tahun terakhir.
Gunawan mengatakan, kehadiran pemain barongsai dan naga terbang asal pribumi adalah wujud bahwa Tionghoa itu menghargai pembauran. Kesenian ini tidak eksklusif dan menutup diri. Namun, terbuka untuk siapa saja.
“Kita menghargai kebersamaan, dengan bersama-sama kita bisa sejahtera,” ungkap Gunawan.
Kemeriahan Cap Go Meh di Jalan Sulawesi malam tadi juga ditambah dengan aksi panggung hiburan live music. Tercatat tiga panggung yang sengaja didirikan di sepanjang Jalan Sulawesi. Dari atas panggung terdengar lagu-lagu top chart yang sedang in. Tidak terbatas satu genre musik. Ada dangdut hingga pop alternative, bahkan disc jockey.
Di salah satu panggung malah tampil sekelompok perempuan berpakaian adat Bugis-Makassar. Mereka adalah penari pa’duppa. Sebuah harmoni hidup yang sulit disaksikan pada hari-hari biasa.
Sementara Chandra Jap, 45, dan sang istri bernama Tong Melan, 42, memilih menjajakan cakwe. Penganan khas Tionghoa.
“Ini camilan khas dari Hokkian. Rasanya asin. Biasanya kami menjual aneka rasa tapi malam ini hanya rasa asin saja,” kata Chandra.
Wakil Ketua Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Makassar, Yonggris Lao, mengatakan, panitia sengaja menggelar konsep Cap Go Meh dengan benang merah pembauran. Ajang Cap Go Meh juga menjadi wadah sosialisasi dan asimilasi.
“Kita adalah satu. Sama-sama masyarakat Sulsel. Sama-sama bangsa Indonesia. Orang Makassar tonji,” ujar Yonggris Lao.
Sejatinya, ada yang berbeda sepanjang perayaan Cap Go Meh tahun ini. Sepanjang proses berlangsung, tidak ada arak-arakan patung atau rupang dewa-dewi. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Seluruh kelenteng dan wihara tidak mengeluarkan rupang dewa-dewi. Seperti di Wihara Ibu Agung Bahari. Panitia seksi sembahyang di wihara itu, Thio Hindranata Abadi, menjelaskan arak-arak patung dewa-dewi tidak digelar lantaran tidak mendapat izin. Proses permohonan izin arak-arakan ini melalui ritual khusus yang digelar pekan lalu. Namanya, sembahyang pa poi.
Sementara salah seorang pengurus Yayasan Kelenteng Xiang Ma, Gunawan, mengatakan, rupang dewa-dewi tetap tersimpan di dalam kelenteng. “Kami tidak dapat mengeluarkan dari kelenteng, takut apabila hujan turun,” jelas dia.
Seluruh proses Cap Go Meh ini baru berakhir ketika jarum jam menujukkan pukul 24.00. Sayang, tidak seperti tahun sebelumnya, kemarin, tidak ada pelepasan burung merpati oleh Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. Sang wali kota memilih menuju Australia. (*)
http://www.fajar.co.id/read-20110218005519-puipui-menyambut-chu-xi-kelinci