Murtini, Penyandang Tunanetra Berkeliling Indonesia
-Untuk Mengetahui Pelayanan Publik Terhadap Penyandang Tunanetra.Melakukan perjalanan keliling Indonesia kerap kita dengarkan, tetapi jika yang melakukan perjalanan itu merupakan penyandang tunanetra, maka itu baru luar biasa.
Perjalanan itu dilakukan seorang penyandang tunanetra yang mengaku beridentitas DR Hj Murtini SH MM dan seorang Dosen Universitas Riau. Ia pun membawa misi, perjalanan keliling nusantara itu, dilakukannya selain untuk memperoleh gelar profesor, juga untuk mengetahui tingkat pelayanan publik terhadap penyandang tunanetra.
Minggu Malam, 17 Februari, sekira pukul 22.00 Wita, kantorku kedatangan seorang wanita paruh baya yang mengenakan busana dan jilbab berwarna merah jambu. Wanita itu didampingi salah seorang anggota Kodim 1407/Bone, Sertu Syamsuddin. Keduanya menyambangi kantor saya yang berada di Jalan Langsat Nomor 25 Watampone.
Awalnya, penulis mengira wanita paruh baya itu ingin menanyakan sebuah alamat. Akan tetapi, setelah memperkenalkan identitas dan maksud tujuannya. Penulis pun mengorek banyak kisah yang dituturkan Murtini yang mengaku berprofesi dosen dalam mewujudkan obsesinya melakukan perjalanannya di sejumlah kabupaten dan kota yang ada di Indonesia.
Wanita kelahiran Palembang ini mengatakan, awal mulanya melakukan perjalanannya dilandasi keinginannya untuk mengetahui pelayanan publik oleh aparatur pemerintahan, baik di kepolisian, TNI, maupun pejabat di tingkat pemerintahan yang dikunjunginya terhadap penyandang tunanetra.
Selain itu, kata dia, berniat pula memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai tunanetra pertama yang keliling Indonesia dan mendapat gelar profesor. Dia pun menguraikan kisahnya,terkait penglihatannya yang tak dapat melihat lagi.
Murtini mengatakan, apa yang dialaminya sebagai penyandang tunanetra itu, karena peristiwa kecelakaan maut yang terjadi pada 2004 silam, saat kendaraan yang digunakan oleh sejumlah dosen usai menghadiri seminar kurikulum pendidikan, mengalami kecelakaan di Puncak Bandung, Jawa Barat.
Murtini menjelaskan, pada peristiwa kecelakaan itu,dari 12 penumpang mobil nahas tersebut, 10 diantaranya meninggal dunia,dan 2 penumpangnya cacat seumur hidup,termasuk dirinya yang mengalami cacat.
Dari peristiwa itu, dirinya sempat mendapatkan perawatan medis hingga ke Mount Elizabeth, Singapura. Tak ayal,dokter yang menanganinya pun menvonis matanya tidak dapat melihat lagi. Sejak itulah ia menjadi penyandang tunanetra.
Tiga tahun berselang, setelah ia tidak dapat melihat lagi, di tahun 2007 Murtini pun memulai perjalanan keliling Indonesianya, yang diawali dari Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam. Tetapi, ujarnya lagi, keinginannya untuk melakukan perjalanan itu, awalnya sempat ditentang keras oleh keluarganya sendiri.
Akan tetapi, dengan semangat yang tak pantang menyerah dan kemauannya yang keras itulah,keinginannya itu pun disetujui oleh keluarganya. "Bahkan keluarga saya sempat mengurung di dalam rumah agar tidak melakukan perjalanan tersebut, "ujarnya.
Dia mengatakan, keinginannya yang sempat ditentang oleh keluarganya itu pun, dimakluminya.Pasalnya, karena dia menilai keluarganya khawatir terhadap keselamatannya selama melakukan perjalanan tersebut, apalagi dirinya sebagai penyandang tunanetra. Sehingga, dalam 20 hari perjalanannya ia pun harus kembali ke kediamannya.
Ia harus mengeluarkan uang pribadinya terkait apa yang dilakukannya saat ini. Ia merinci, selama perjalanannya keliling nusantara itu, ia harus menginap di sejumlah hotel maupun wisma. Untuk makan
kesehariannya, terkadang meminta tolong kepada pegawai hotel dan wisma yang ditempatinya menginap untuk membelikan makanan.
Dia mengaku, untuk biaya perjalanannya sudah menyiapkan uang sebanyak Rp 200 juta yang disimpannya di Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Tak jarang ia pun meminta petugas bank untuk membantunya dalam melakukan penarikan uang tunainya di ATM.
Kartu ATM itu yang diandalkan Murtini untuk menarik uangnya untuk membiayai akomodasi perjalanannya. Selama dalam perjalanannya, ia pun hanya dibekali telepon seluler.
Dia merinci sudah ada 400 lebih kota dan kabupaten yang ada di wilayah Indonesia yang sudah dikunjunginya, sedangkan Komando Distrik Militer (Kodim) ia mengaku sudah mengunjungi Kodim sekitar 330 kali,sedangkan kantor Polisi Resort (Polres) sekitar 389 kali dikunjunginya. Dalam kunjungannya di sejumlah wilayah di Indonesia itu, dia mengutamakan untuk mengunjungi pertama kali Polres.
Hal itu, karena kepolisian merupakan pelayan masyarakat, dirinya mengaku mau mengetahui bagaimana tingkat pelayanan polisi terhadap masyarakat itu sendiri, terutama kepada penyandang cacat seperti dirinya. Kemudian Kodim dan intansi pemerintahan lainnya.
Dari beberapa kunjungannya itu, Murtini menilai masih banyak personil kepolisian yang tidak memiliki kepedulian dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Padahal, kata dia, sebagai pelayan masyarakat,
tentu aparat kepolisian harus melakukan pelayanan prima kepada semua unsur masyarakat, termasuk pula kepada penyandang tunanetra. Demikian halnya, aparatur pemerintahan daerah yang sudah dikunjunginya.
Bahkan, ia mengaku kerap dipandang sebelah mata dan dinilai sebagai pengemis. Apalagi dirinya membawa sebuah buku tulis yang ditentengnya kemana-mana yang digunakannya untuk dibubuhi tanda tangan dan cap stempel instansi terkait bukti kedatangannya di instansi pemerintahan yang didatanginya.
"Penyandang tuna netra masih kerap dipandang sebelah mata, dan dinilai mengharapkan sumbangan jika datang ke instansi pemerintahan"ujar wanita paruh baya kelahiran Palembang, 19 Maret 1958 ini dengan nada prihatin.
Ia pun sudah mengunjungi sejumlah daerah di Indonesia, seperti beberapa kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Bengkulu. Dan sejumlah kabupaten yang
ada di Jawa, serta sejumlah kabupaten dan kota yang ada di Kalimantan.
Murtini mengaku, tiba di Sulsel, sejak Januari lalu. Sejak di Sulsel itu, ia sudah melakukan kunjungan di sejumlah instansi yang ada di beberapa kabupaten maupun kota di Sulsel, diantaranya Kabupaten Maros,
Palopo, Wajo, Soppeng.
Di Kabupaten Bone sendiri, jelasnya, ia tiba Minggu sore, 17 Februari. Senin, 18 Februari lalu, Murtini berkunjung ke sejumlah instansi pemerintahan yang ada di Kabupaten Bone.
Sayangnya, dari kunjungannya itu ia kerap dianggap sebagai pengemis. Tak hanya itu, saat berada di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bone, ia merasa tidak dilayani oleh sejumlah staff di kantor itu.
"Bagaimana aparatur pemerintah dapat profesional, kalau yang melayani saya bukanlah pegawai, tetapi orang yang sedang Praktek Kerja Lapangan (PKL) di kantor ini,"ujarnya, saat meminta tanda tangan dari Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Bone, Sudirman, sebagai bukti kunjungan ke kantor tersebut.
Selanjutnya, usai melakukan kunjungannya ke Kabupaten Bone, Murtini yang mengaku pula bersuamikan seorang perwira tinggi TNI ini, akan melanjutkan perjalanannya ke sejumlah Kabupaten yang ada di Sulsel,
diantaranya Kabupaten Sinjai, Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, dan Kabupaten Gowa.