Dis-orientasi Gerakan Mahasiswa Makassar
Mahasiswa memang punya banyak ide. Tapi hanya sedikit yang benar-benar berusaha mewujudkannya. (anonym)
Siang Itu, sang matahari nan angkuhnya memancarkan panas yang
begitu menyegat kulit. Buliran keringat bercucuran, sebagai respon
betapa panasnya siang itu, apalagi panas yang ditimbulkan Ban bekas yang
terbakar, bercampur aduk. Namun, dengan semangat berkoar-koar puluhan
mahasiswa dengan gegap gempita berorasi di depan kampus mereka, UIN
Alauddin Makassar.
Sang Koordinator lapangan, dengan gagah beraninya berorasi dengan Micro phone dengan suara yang menggelegar, memekikkan telinga para pengguna jalan Alauddin. Tangan Kirinya memegang Micro phone,
di selempangkannya tali pengeras suara itu di lengannya, sementara
tangan kanan, dengan gaya khas Soekarno-nya, jari telunjuk di
arahkannya ke langit nan biru, dengan latar belakang asap hitam
mengepul dari ban bekas mewarnai aksi.
Sorakan para penggembira aksi dengan sautan dan teriakan, “Hidup Mahasiswa !!!, Hidup Rakyat…!!!, Sesekali
para demonstran mengumpat dengan sumpah serapah para pelaku elit
negeri ini, apalagi kalau bukan ulah para koruptor, dengan seenaknya
saja menggunakan kekuasaan tuk kepentingan dirinya sendiri.
Mata
ini tertuju pada sang orator, memperhatikan retorikanya, seolah-olah
-lah si singa podium, Bung karno. Dengan argumentasi yang berapi-api,
membakar semangat kawan-kawannya. Terlebih lagi, pabila kamera jurnalis
TV tertuju padanya, maka menjadi-jadilah gerakan Sang orator tersebut.
Demontrasi,
bukanlah aktivitas langkah di kampusku, tetapi sudah menjadi rutinitas
harian. Demontrasi seolah menjadi mata kuliah tambahan bagi sejumlah
aktivis di kampusku. “Setiap hari hanyalah demo terus” Ungkapan
tetanggaku, yang kerap diskusi denganku, di suatu pernah di pos ronda .“Kondisi
keterpurukan negeri ini, tidak dapat diselesaikan hanya dengan demo
saja, dik”, ujarnya padaku.
Tetapi, lanjut Ia, sembari memberikan
jawaban, “Toh, kaliankan kaum terpelajar, sudah semestinya mencarikan
solusi mengatasi problem tersebut,
kalau hanya tahunya demo melulu, dan memacetkan jalan. Tentu yang
dirugikan masyarakat itu sendiri, yang nantinya menambah persoalan lagi.
Mungkin inilah bentuk eforia reformasi yang kebablasan.”Ungkapnya, berusaha menyakinkanku.
Kampus Hijau, konon ditempat inilah Calon ulama yang Intelektual dan intelektual
yang ulama di didik, namun masih adakah secercah harapan buat mereka,
ataukah harapan itu hilang, bersama dengan tuntutan reformasi yang
kehilangan arah. “Dis-orientasi gerakan”Gumam pikiranku, yang berusaha menyakini hipotesis sejumlah kalangan melihat gerakan mahasiswa yang kehilangan arah perjuangannya.
Kampus
di sepanjang jalan Sultan Alauddin, macet total, disesaki sejumlah
kendaraan yang terjebak kemacetan akibat ulah para demonstran. Pun,
Klakson kendaraan bermotor bersaut-sautan, baik roda dua maupun roda
empat. Para pengguna jalan merasa geram dengan ulah intelektual kita.
Tidak itu saja, kepulan asap ban bekas sebagai pelengkap aksi, “Kurang
Afdhol rasanya, tiap aksi tanpa bakar ban bekas.”Ujar kawanku, yang
terkenal sebagai orator ulung di Kampusku.
Sirine mobil ambulance meraung-raung, terjebak kemacetan, berusaha menembus blockade
pengunjuk rasa yang memalang jalan, melintangkan Mobil pengankut BBM
ditengahnya. Di ambulance tersebut, seorang pasien sedang dalam kondisi
kritis, keluarga pasien di ambulance itu, hanya menangis. Pasien butuh pertolongan sesegera mungkin, tuk mengardapatkan perawatan medis.
Kejadian
itu, menghentakku dan berpikir,apa yang mereka perjuangkan. Bila,
mereka memperjuangkan rakyat, toh kenapa gerakan demonstrasi mahasiswa
kerap mendapatkan sikap antipati masyarakat, bahkan cemohan bahwa aksi
mahasiswa ditunggangi sejumlah oknum yang meraup keuntungan dari aksi
itu.
Dulunya,
saya seorang demontrans. Tak jarang wajahku kerap tampil dilayar tv
sebagai orator. Tapi itu dulu, kini melihat arah gerakan rekan-rekanku,
yang kehilangan orientasi. Pun, saya perlahan meninggalkannya. Dulu,
ketika kami aksi, penutupan jalan menjadi warna tersendiri, semakin
macet jalan, semakin aksi kami menjadi perhatian media. hal itu,
dilakukan agar media melirik aksi kita untuk diliput.
Tak
jarang, kami menutup full jalan. Bahkan, ban bekas dibakar dan asapnya
pun mengepul, mengotori awan nan biru. Bahkan, pernah suatu ketika
salah seorang demontrans tangannya terbakar. Disebabkan, karena saat
ingin menyiram ban bekas dengan bensin, tiba-tiba saja api menyambar
tangannya. Tak pelak, Ia pun harus menjalani perawatan medis.
Pertanyaanya,
kemana arah perjuangan mahasiswa pasca reformasi, bahkan gerakan
mahasiswa, menurutku kehilangan arah dan terkesan menuai antipati.
Selain itu, banyaknya bentrok antar mahasiswa menjadi sekelumit
permasalahan yang mengiringi dunia kemahasiswaan di kekinian ?
Ada
apa dengan mahasiswa, bukankah idealnya mahasiswa sebagai corong
perubahan. Ia menjadi agen perubahan menuju tatanan yang lebih baik.
Seorang yang menjadi penerjemah persoalan orang disekitarnya, dan
menjawabnya dengan pikiran, bahkan menjadi pioner harapan bangsa, yang
berpikir progresif sebagai cara pikir untuk pencapaian penyelesaian
permasalahan di negeri ini. Bukan menjadi bagian dari permasalahan.
Tingginya
tingkat intelektual, tetapi tidak dibarengi dengan moralitas.
Sedemikian parahkah kondisi kemahasiswan, menjual idealisme dan
identitas dirinya, untuk segepok uang demi kebutuhan memenuhi hasrat
pribadi, bahkan demi memiliki perangkat komunikasi (HP) yang memiliki
fitur-fitur yang canggih. Sehingga gerakan mahasiswa digadaikan dan
menjualnya dengan nama rakyat. Rakyat yang mana yang ia perjuangkan ?.
Contoh
diatas, bukan menjadi rahasia umum lagi, tapi menjadi aktivitas aktivis
seolah idealis tapi iblis. Sejumlah oknum yang memanfaatkan gerakannya
yang tanpa konsep dan solusi yang jelas. Lihat saja penampilan sejumlah
aktivis, menenteng Hand Phone yang memiliki harga yang tinggi,
dimanakah ia memperoleh untuk membelinya. Kalau bukan dengan menjual
harga diri mahasiswa- (Maaf kalau kecurigaanku terlalu besar, semoga ini
tidak terjadi)-, bahkan junior-juniornya pun menjadi penggembira dalam
setiap aksinya.
Kepandaian
sang orator merangkai kata,dan mempengaharui para demonstrans saat
aksi, tidak sinergis dengan prilaku keseharian dari sang orator, maklum
mereka bagian dari NATO (No Action Talking Only).Manusia dengan standar
ganda, sisi
lain Ia menolak korupsi,namun di kesehariannya diliputi dengan nuansa
korupsi. Contoh kecilnya, banyak -tapi tidak semuanya- mahasiswa yang
berlabel aktivist, yang juga menjadi pengurus di lembaga intra di
kampusnya, dalam perencanaan dan pengelolaan dana anggaran lembaganya,
diselewengkan.
Hal
ini menjadikannya calon koruptor kelas teri, bahkan nantinya menjadi
birokrat menambah daftar-daftar para koruptor di negeri ini. Duh, negeri
ini menjadi lahan bagi koruptor yang menyengsarakan rakyatnya. Intelektual menjadi jalan, tetapi moralitas sebagai pedoman. Semoga menjadi refleksi buat penerus bangsa ini…