Melestarikan Nilai Budaya Perkawinan Adat Bantaeng.
Membuat buku sebagai referensi generasi selanjutnya.
Perkawinan merupakan pertautan dua insan manusia dalam ikrar suci (Ijab Kabul) untuk mewujudkan pencapaian menuju keluarga Sakinah, Mawaddah, dan Warohmah.
Untuk itu, sebagai bentuk tanggung jawab dalam melestarikan nilai budaya dalam perkawinan adat Bantaeng, seorang pemerhati budaya di Butta Toa, Rakhmad AB Kr Dode, merasa terpanggil untuk melestarikannya.
Namun untuk melestarikan nilai budaya itu, ia membuatnya dalam bentuk buku, yang kini sudah hampir rampung,”Alasan saya membuat buku, tentu sebagai pedoman atau referensi, bagi generasi pelanjut. Sehingga, dengan adanya buku ini, saya berharap kedepan, generasi pelanjut, tidak melupakan nilai budayanya sendiri,”ungkapnya saat di temui di kediamannya, kemarin.
Dia menambahkan, bahwa bahan tulisannya itu berasal dari apa yang dialaminya, saat menggelar perhelatan perkawinan sanak keluarga dan kerabatnya. Tak hanya itu, lanjut Rakhmad, ia pun banyak menimba pengetahuan kepada orang tuanya, dan kepada orang yang di tuakan , “Hal itu, menjadi tambahan wawasan. Karena orang yang dituakan itu sendiri, kaya akan pengalaman. Dari cerita merekalah, saya menggabungkannya dengan pengalaman dalam melihat langsung perhelatan perkawinan,”jelasnya.
Untuk pelaksanan perkawinan secara adat, katanya, memiliki kesamaan dengan adat Bugis-Makassar sendiri,”Hanya perbedaan istilah yang sesuai dengan bahasa masing-masing. Contohnya, untuk malam pacar, kalau orang Makassar menyebut Korongtigi, sedangkan orang bugis menyebutnya dengan kata Mappaccing. Sementara itu, orang Bantaeng menyebutnya dengan kata A’burangga,” katanya.
Secara umum urutan perhelatan perkawinan secara adat Bantaeng, hampir sama dengan adat Bugis-Makassar, yang di mulai dengan acara melamar, penentuan hari pelaksanaan perkawinan, penyerahan mahar, mengundang sanak keluarag dan kerabat, pensucian calon pengantin (A’burangga) dan tradisi usai pesta perkawinan. A’burannga sendiri, kata Rakhmad, merupakan kata yang sarat makna.
Menurutnya, A’burangga merupakan pensucian jiwa raga dari kedua mempelai yang akan duduk di pelaminan nantinya.,”Kata A’ berarti tidak, sedangkang bura artinya bohong, sementara ngga yakni jiwa dan raga. Sehingga diharapkan dari prosesi A’burangga itu, tidak ada lagi kebhongan pada jiwa dan raga kedua mempelai, saat akan mengarungi bahtera kehidupan bersama,”urainya.
Lebih lanjut, Rakhmad menjelaskan, bahwa sebelum tahap pelamaran pihak laki-laki kepada pihak wanita di mulai, terlebih dahulu pihak laki-laki mengutus perwakilannya secara tidak resmi kepada pihak perempuan, inilah yang disebut dengan A’jangang-jangang.
“Hal itu sebagai langkah awal pihak laki-laki untuk mengetahui apakah si perempuan tersebut sudah ada yang melamarnya. Dan orang yang di utus itu, biasanya masih memilki kekerabatan dari keluarga perempuan itu sendiri. Salah satu tujuan dari A’jangang-jangang , yaitu untuk mengetahui apakah si perempuan itu belum ada yang melamarnya,”ungkapnya.