0
On this Article
Home  ›  Tidak Ada Kategori

Menulislah Hingga akhir Hayat-Mu

“Menulislah, curahkanlah segala resah kesah yang berkecamuk dalam alam pikiran dan hati. Membacalah, karena terangkai misteri kehidupan tuk kita maknai, karena hidup ini penuh dengan makna”.

Membaca dan menulis merupakan totalitas padu dalam melihat jendela dunia, dalam perspektif (pandangan) berbeda secara normative. Ketika kita menulis, kita menjadi tuhan, –menciptakan tulisan dengan keinginan kita-, atas apa yang kita rangkai. Memberi ruh terhadap kata.  Bukankah kata  adalah keinginan, pikiran, serta perasaan kita tuk di aksentuasikan baik lisan Maupun tulisan”.

Menjadi penulis tak hanya dibutuhkan  kepandaian merangkai kata, kata demi kata menjadi kalimat, Kalimat menjadi paragrap, Paragraph menjadi tulisan utuh. Akan tetapi, lebih dari itu, perenungan -Pembacaan-, penulis melihat  kondisi empiris dalam berbagai problematika kehidupan sehari-hari dari berbagai aspek yang melingkupinya. Hal inilah yang menjadi bahan bacaan yang sesungguhnya. Kemudian, dari problematika itulah kemudian di rangkai tuk menjadi kalimat nan bermakna.

Menggali ide.

Dikeseharian kita,  bejibun peristiwa yang kita lewati yang butuh pemaknaan. Alangkah indahnya kehidupan ini,  kala kita mampu tuk maknai dan merangkainya menjadi sebuah tulisan. Tak  terpungkiri, dikehidupan ini ibarat sebuah roda berputar, kebahagian seiring berjalan dengan kesedihan. Pun, dengan Tawa dan tangis.
Terciptanya tulisan sebagai sebuah ungkapan pikiran, hati dan keinginan yang diaksentuasikan melalui rangkaian kata , bukanlah proses instan (Cepat saji), akan tetapi proses yang cukup panjang.

 Ide hadir ketika kita merangsangnya melalui observasi terhadap apa yang kita rasakan, lihat, serta dengarkan. Kata lainnya, melewati proses panjang terhadap realitas yang dihadapi melalui perspektif secara kontemporer kontekstual dari berbagai sudut pandang. Sehingga, dari perspektif berbeda diharapkan tulisan kita renyah untuk dibaca.

      Selain itu,  kadangkala kita yang masih terbilang baru menekuni dunia tulis-menulis, terkumkum pada rumusan maupun teori-teori tentang penulisan, Sehingga kita merasa terbebani oleh rumusan itu sendiri dalam berkarya.  Terbelunggu oleh berhala (Teori-teori tentang penulisan) itulah yang mengakibatkan kemandekan dalam menuangkan ide serta gagasan kita dalam secarik kertas.

Kemandekan itu,  tentunya, dapat kita atasi jika kita mampu membaca -Melihat peristiwa dari perpektif yang berbeda-, dengan cara tidak melihat dengan kaca mata kuda -Melihat lurus tanpa melihat kekiri dan kanannya-, serta melepaskan kungkuman rumusan-rumusan tentang tata cara penulisan dari onak pikiran kita. Dan diharapkan akan melahirkan tulisan-tulisan yang mengalir apa adanya.

Tak hanya itu, suasana disekitar kita mempunyai pengaruh dalam mencurahkan gagasan-gagasan kita. Dan  suasana hati setiap orang pastilah berbeda, ada yang dikala sunyi mampu menuliskan gagasannya, di Pantai,  atau juga di saat dini hari yang hampir sebagian dari kita tertidur pulas dibuai mimpi. Semua itu kita harus sesuaikan dengan suasana hati.

Akhirnya, menjadi seorang penulis bukanlah sebagai profesi semata. Lebih dari itu, panggilan nurani menjadi landasan, katakanlah kebenaran itu walaupun pahit. Tak pelak melalui tulisan-tulisan yang mampu membangkitkan dan menjadi pioneer perubahan. Sehingga penulis yang baik,  menjadikan karyanya sebagai panggilan nurani, bukan keuntungan semata (Oriented Profit). Bukankah, yang tertulis itu mengabadi, walaupun tergerus oleh sombongya sang waktu. Seandanyai Al-Qur’an tidaklah dalam bentuk tertulis akan tetapi bentuk tutur, maka yakin dan percaya, hingga kini kita tak dapat mengetahui Kalam Allah yang begitu Indah itu.

Akhir Kalam, Semoga kita menjadi bagian dari Budaya Baca, Menulis, dan berdiskusi dikalangan Mahasiswa, sehingga gagasan itu terlahir dari Pikiran-pikiran progresif tuk perubahan, baik bagi diri kita, Agama dan Bangsa yang kita cintai. Semoga…
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share
Additional JS