Menulis Feature

Edy Arsyad 7 min read
Feature Harian FAJAR

Sekedar Pengantar
Oleh: Nurdin Kalim

Saya akan memulai dengan penggal cerita seorang wartawan kawakan. Alkisah, suatu hari sang wartawan ditanya mengenai teori yang digunakan untuk menuangkan ide ke dalam tulisan-tulisannya. Apa yang terjadi?

Mendengar pertanyaan itu si wartawan kelihatan tak “siap”. Meski sejatinya, profesi itu telah bertahun-tahun digelutinya. Ia jadi tercenung kala dihadapkan dengan persoalan teori. Maka, dengan nada agak lirih, bung jurnalis kawakan ini menjawab, “Apa saudara tahu adanya teori naik sepeda?”

Pekerjaan utama seorang wartawan memang bukan naik sepeda. Bukan pula melukis. Bukan membuat sinetron, menyebarkan pamflet, berkampanye atau mengutak-atik komputer. Pekerjaan pokok seorang jurnalis adalah menulis.

Cuma, banyak wartawan – dan penulis lepas (free lance) – kerap mengalami kesulitan untuk menjelaskan: bagaimana cara ia melakukan pekerjaan pokoknya tersebut? Seringkali seorang wartawan sulit memberi jawaban, tatkala ia disodorkan pertanyaan: bagaimana cara menulis (yang baik)?

Kesulitan yang dihadapi sebenarnya bukan pada cara ia menyajikan tulisan. Tapi, bagaimana ia merumuskan langkah-langkah tersebut – hingga menjadi tulisan (yang baik). Maksudnya, ia sudah mengerti “caranya”, tetapi sulit mengutarakan “bagaimananya”.

Nah, menurut pemikiran saya, bagaimana cara menulis feature – ya, barangkali – bisa diibaratkan dengan bagaimana cara naik sepeda? Bagaimana cara melukis?

Bagaimana cara membuat sinetron, menyebarkan pamflet, berkampanye atau mengutak-utik komputer? Atau – deretkan sajalah – segerobak bagaimana cara...? Repot, khan?


Apa sih feature itu?

Merujuk kamus Inggris-Indonesia, John M. Echols dan Hassan Shadily, feature (baca:ficer) adalah karangan istimewa yang menarik pembaca. Feature bisa juga: karangan khas yang menghibur – sekedar santapan tambahan agar yang berat-berat terasa nyaman (Wolseley dan Campbell).

Atau, feature merupakan tulisan yang menghibur, memberi informasi dan mengajar (Elmo Scott Watson). Untuk menghibur, menimbulkan rasa heran, geli, takjub, cemas, haru dan jengkel; atau untuk mendidik, menambah pengetahuan dan membangkitkan rasa estetis atau pengenak pembaca (Mochtar Lubis).

Perkembangan dewasa ini menunjukkan, feature merupakan wadah bertemunya keterampilan jurnalisme dengan prosa. Karena itu, kemudian diperkenalkanlah “jalan pintas” bagi yang ingin menjadi penulis feature: bila ingin menjadi penulis feature, belajarlah menjadi penulis cerpen alias cerita pendek!

Akan tetapi, harus pula disadari, menulis cerpen sendiri bukan pula suatu perkara enteng. Itu sebabnya “fatwa” tadi harus dipahami secara tepat. Ia lebih dimaksudkan pada penguasaan umum terhadap syarat-syarat yang dituntut sebuah cerpen. Misalnya, ada tema, ada plot, ada pembukaan (opening), ada penutup (ending) dan – di sela opening dan ending – ada aneka bumbu serta warna, seperti: humor, suasana, suspense (ketegangan), misteri, bahkan impresi penulis.

Seperti kita ketahui, berita (straight news), secara umum: kaku, kering dan sekedar mengumpulkan fakta-fakta. Dalam penulisan berita pendapat pribadi sejauh mungkin harus dihindari. Sementara feature lebih luwes, santai dan pendapat pribadi “sah” masuknya. Atau feature lebih “mengisahkan cerita”.

Jadi, intinya, penulis feature adalah penulis yang berkisah. Ia melukiskan gambar, menghidupkan imajinasi pembaca dan menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita – dari awal hingga akhir.

Bila seorang wartawan kampus menggambarkan rektor dengan sepatunya yang gemerlapan
dan rambutnya yang keputih-putihan dalam berita, redaktur pendidikan akan marah dengan tulisan itu bertele-tele. Tapi, sebaiknya, bila reporter itu melupakan gambaran sang rektor pada saat ia menulis feature, redaktur pendidikan barangkali akan berujar, “Orangnya seperti apa? Saya tak bisa membayangkannya”

Penulis feature sebagian besar tetap menerapkan kaidah dasar penulisan jurnalistik, karena ia tahu bahwa teknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi. Tapi, bila ada aturan yang mengurangi kelincahannya untuk mengisahkan suatu cerita, maka ia akan segera menerabas aturan itu.

Lebih jauh lagi, penulis feature tentu saja membutuhkan imajinasi yang baik, karena ia harus menjahit kata-kata dan rangkaian kalimat menjadi cerita yang menarik. Tapi, seperti juga bentuk-bentuk jurnalisme lainnya, feature bukan fiksi dan imajinasi penulis tak boleh mewarnai fakta-fakta dalam ceritanya. Pendek kata, cerita khayalan haram hukumnya dalam penulisan feature.

Etika menyebutkan bahwa, opini dan fiksi boleh ada – kecuali pada bagian tertentu surat kabar. Tajuk Rencana, tentu saja, merupakan tempat mengutarakan opini. Dan Edisi Minggu sebuah surat kabar diterbitkan untuk menampung fiksi – mmisalnya, cerita pendek.

Yang pasti, feature tak boleh berupa fiksi. Dan setiap “pewarnaan” kata-kata tak boleh menipu pembaca. Seorang wartawan profesional tak akan menipu pembacanya, walau sedikit, karena ia sadar terhadap etika dan bahaya yang akan mengancam.

Lantas, sebenarnya, seperti apa sih feature itu?

Sekarang kita sampai pada “sosok” sebuah feature. Seperti layaknya sebuah cerpen, feature dapat menyentuh apa saja serta semua masalah. Bisa bertema oleh raga, kriminal, kesehatan, gaya hidup dan sebagainya. Satu hal yang kudu diingat: berusahalah mengangkat tema yang hangat (topical) dan yang khas (typical). Pasalnya, tema yang mengandung kedua faktor ini biasanya lebih mudah mencapai target sebuah feature – biasa disebut: Human Interest.

Hangat (topical di sini maksudnya tak serta-merta berhubungan dengan newspeg (berita lempang), sesuatu yang menjadi pekerjaan para penulis hard news. Daya pikatnya justru muncul karena ada tenggang waktu. Ia bisa bertahan selama beberapa minggu. Memang demikianlah sebuah feature diupayakan, agar mempunyai “nafas” lebih panjang dibandingkan dengan berita biasa.

Sedangkan khas (typical) berarti topiknya benar-benar khas. Ia menyentuh dan menyangkut minat serta perhatian publik. Padat dan semrawutnya lalu lintas, misalnya, adalah sebuah topik abadi untuk kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Tapi, ketika kerap terjadi penodongan dan pencongkelan kaca spion di perempatan jalan, ia menjadi topik yang cukup khas untuk beberapa saat. Nah, dari tema seperti itulah kita bisa mengangkat sederet feature di seputar lalu lintas kota sehari-hari.

Ragam Feature

Nah, setelah kita mencoba mengindentifikasi apa itu feature, kini kita lihar yang disebut mengandung berita dan yang tidak mengandung berita. Yakni, feature berita dan feature human interest. Acapkali batasan kedua jenis feature tersebut sangat tipis – yah, bak kulit bawang merahlah.

Feature Berita adalah yang terpengaruh unsur waktu, yang berhubungan dengan peristiwa hangat menarik perhatian publik. Sementara feature Human Interest tak mempunyai nilai berita. Biasanya ia tak lekang oleh waktu. Ia tak memberi informasi mengenai kepentingan yang vital. Ia hanya menghimbau rasa ingin tahu pembaca tentang, upamanya, orang lain, soal-soal yang jadi perhatian bersama, sejarah dan sebagainya.

Sekadar untuk diketahui, ada sejumlah ragam feature yang kerap kita temui dalam media massa. Antara lain, profilel personality feature (memperkenalkan seorang tokoh, sekolompok orang atau lembaga. Pembaca bisa mengetahui sepak terjang tokoh tersebut, motivasinya, pandangannya, wawasan, serta kerangka pikirnya. Meski selalu, penulisan profil biasanya berkaitan dengan suatu peristiwa yang dilakukan/melibatkan tokoh.

Historical Feature mengungkapkan apa yang pernah terjadi di masa silam, ditulis dengan berita lempang (nespeg) masa kini yang berunsur kebaruan. Feature ini mengacu pada keterkaitan antara masa lampau dan masa kini. Maksud dari feature jenis ini adalah untuk menyegarkan ingatan pembaca tentang kejadian yang bersejarah.


Seasonal Feature: mengisahkan aspek baru dari suatu peristiwa teragenda, misalnya, saat lebaran, natal, peringatan hari tertentu dan sebagainya. Jadi, feature ini mengacu kepada peristiwa yang berkenaan dengan hari-hari besar (hari raya) dan yang dituangkan dalam feature ini adalah hal-hal non-fisik yang menyangkut emosi atau hal-hal ironis.


Adventure Feature: menyajikan kejadian unik dan menarik yang dialami seseorang, sekolompol orang atau lembaga – baik dalam perjalanan, ekspedisi, percobaan, kecelakaan dan sebagainya. Feature jenis ini juga disebut Cerita Perjalanan. Dengan kata lain, ia berisi pengalaman penulis ketika melakukan perjalanan ke sebuah tempat yang menarik. Misalnya, oyek wisata, pedalaman Baduy, hutan Amazon, puncak gunung Jayawijaya dan lain-lain.


Trend Feature: menyuguhkan kisah sekelompok anak manusia yang berubah gaya hidupnya, dalam proses transformasi sosial-budaya, yang kadangkala bergulir begitu cepat.


Human Interest Feature: mengisahkan kejadian yang menyentuh perasaan, lewat penuturan yang mampu mengajak pembaca bercermin dan melihat dirinya sebagai anak manusia yang bergelut dalam tragedi atau komedi kehidupan. Pendek kata, feature ini menonjolkan aspek-aspek dramatis, emosional dan materi latar belakang yang menyangkut manusia. Tujuannya untuk memberi sentuhan kepada pembaca yang dapat memberikan perasaan simpati, empati, senang, benci atau marah.

Memikat dengan Lead 

Untuk memikat dan menarik minat pembaca memasuki tulisannya, sebuah feature harus punya kepala (lead) yang menggoda. Lead yang menarik merupakan kunci keberhasilan sebuah feature. Mencoba menangkap minat pembaca tanpa lead yang
baik, ya, ibarat kita mengail ikan tanpa umpan.


Feature memiliki perbedaan dalam penempatan lead. Dalam berita, lead mengadung sesuatu yang penting. Sementara pada feature, apa yang penting dan menarik bisa ditempatkan di tengah tulisan. Bisa pula di akhir tulisan. Kepentingan tulisan dan ketertarikan pembaca dijaga pada setiap bagian tulisan, agar pembaca terpikat untuk membaca sampai akhir tulisan.


Yang pasti, lead untuk feature mempunyai dua tujuan utama. Pertama, untuk menarik pembaca mengikuti cerita. Dan kedua, membuat jalan seupaya alur ceritanya lancar. Banyak pilihan lead; sebagian untuk menuentak pembaca, sebagian untuk
menggelitik rasa ingin tahu pembaca dan memberi pembaca tentang cerita yang bersangkutan secar ringkas.


Ada berbagai lead yang telah dikenal selama ini. Antara lain, menuliskan langsung inti ceritanya (lead ringkasan); melukiskan suasananya (lead bercerita); mendeskripsikan sosok tokoh cerita (lead deskriptif); membuka dengan kutipan (lead kutipan); membukan dengan pertanyaan (lead pertanyaan); menggoda dengan humor atau misteri (lead penggoda); atau gabungan dari semua itu (lead gabungan).

Persiapkanlah senjata dan amunisi

Selain lead, yang tak boleh disepelekan adalah fokus. Agar aman dan tetap pada persoalan yang akan dituangkan, sebaiknya dibuat sebuah out-line atau kerangka. Apalagi bila penulis diberi tugas untuk membuat tulisasn yang sangat panjang.

Meskidalam proses penulisan acapkali tiba-tiba muncul ide baru, adanya out-line tetap akan membantu memudahkan penulis menyelesaikan tugasnya dengan memikat. Singkat kata, sebuah out-line menghindarkan kekacauan urutan dan pengulangan-pengulangan yang tak perlu – alias mubazir!

Karena harus “mengisahkan cerita” (menghidupkan imajinasi pembaca, menarik pembaca menarik masuk ke dalam cerita dan melukis dengan kata-kata), seorang penulis feature harus menyiapkan senjata. Dan dengan senjata ini ia bisa “menaklukkan” pembacanya. Ada empat senjata pokok yang dibutuhkan sang penulis feature. Yakni, fokus, deskripsi, anekdot dan kutipan.

Penguasaan Bahasa

Pokok paling penting selanjutnya adalah penguasaan terhadap bahasa. Yaitu, perangkat yang digunakan sebagai medium sebuah feature dituturkan. Tentu saja, bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Namun, kalau mau jujur, bahasa yang baik dan benar (menurut aturan resmi saja) terkadang belum cukup untuk melahirkan feature bagus. Penggunaan bahasa sering membuat tulisan itu komunikatif, seringkali “memaksa” kita menggunakan bahasa sehari-hari, bahasa daerah, bahasa gaulm dialek tertentu – yang tak atau belum ada di kamus. Itu, menurut saya, sah-sah saja – sejauh tak semakin menyulitkan pembaca.

Penutup

Berbeda dengan Arswendo Atmowiloto, yang menganggap “Mengarang itu Gampang”, saya menganggap “Mengarang itu Susah-suasah Gampang”. Susahnya, mengarang perlu bakat (talenta) dasar. Tanpa bakat yang memadai, betapapun besarnya nminat, tak akan berhasil maksimal. Sebaliknya, tanpa minat, bkat akan menjadi barang tambang yang tak tereksplorasi.

Namun, bakat dan minat saja tidak cukup. Bakat dan minat harus dikembangkan secara bersama. Bahkan harus diasah terus-menerus – hingga anda ingin berhenti menjadi seorang pengarang. Jika bakat, minat dan usaha besar, maka mengarang itu memang menjadi gampang sekali.

Akhirnya, kembali ke soal seluk-beluk feature, menurut hemat saya, penulis feature yang baik, biasanya kaya kosa kata, kreatif, punya daya imajinasi tinggi, peka dan (tentu saja) pengenalan yang cukup terhadap masalah yang hendak ditulisnya.

Kalau masih ada waktu, sebaiknya penulis feature “mengendapkan” dulu tulisannya untuk beberapa saat, sebelum dikirim ke meja redaksi. Sebab, biasanya, dengan cara itu, setelah otak segar kembali dan sedikit berjarak, penulis akan menemukan
kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Bukankah akurasi merupakan (salah satu) unsur yang sangat penting dalam dunia jurnalisme?


Jakarta, pertengahan Mei 2002



Catatan :


Makalah ini disampaikan pada “Diklat
Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Lanjut Se-Jawa, Bali dan Nusa Tenggara” yang
diselenggarakan Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UAPKM) Universitas
Brawijaya, 13 – 15 Mei 2002, di Malang, Jawa Timur.

(http://lapakkaset.sos4um.com/t190-menulis-feature)
Edy Arsyad
Edy Arsyad Seorang Pembelajar & Suka Melipir. Terus mengembangkan keterampilan penulisannya.
2 komentar