0
On this Article
Home  ›  Tidak Ada Kategori

Melestarikan Nilai Budaya Perkawinan Adat Bantaeng.

Membuat buku sebagai referensi  generasi selanjutnya.

    Perkawinan merupakan pertautan dua insan  manusia  dalam ikrar suci (Ijab Kabul) untuk mewujudkan pencapaian  menuju keluarga Sakinah, Mawaddah, dan Warohmah.


              
   Perkawinan tak hanya sebagai perhelatan seremonial semata. Tetapi dibalik itu , ia  sarat akan makna. Apalagi, perhelatan itu dilakukan secara adat. Namun, seiring perputaran waktu, terjadi pula pergeseran  budaya. Pergeseran itu sendiri, akibat kurangnya pemahaman generasi penerus dalam memahami budayanya sendiri.

     Untuk itu, sebagai bentuk  tanggung jawab dalam melestarikan nilai budaya dalam perkawinan adat Bantaeng, seorang pemerhati budaya di Butta Toa, Rakhmad AB Kr Dode, merasa terpanggil untuk melestarikannya.

        Namun untuk melestarikan nilai budaya itu, ia membuatnya dalam bentuk  buku, yang kini sudah hampir rampung,”Alasan saya membuat buku, tentu sebagai pedoman atau referensi, bagi generasi pelanjut. Sehingga, dengan adanya buku ini, saya berharap kedepan, generasi pelanjut, tidak melupakan nilai budayanya sendiri,”ungkapnya saat di temui di kediamannya, kemarin.

      Dia menambahkan, bahwa bahan tulisannya itu berasal dari apa yang dialaminya, saat menggelar perhelatan perkawinan sanak keluarga dan kerabatnya. Tak hanya itu, lanjut Rakhmad, ia pun banyak menimba pengetahuan kepada   orang tuanya, dan kepada orang yang di tuakan , “Hal itu, menjadi tambahan wawasan. Karena orang yang dituakan itu sendiri, kaya akan pengalaman. Dari cerita merekalah, saya menggabungkannya dengan pengalaman dalam melihat langsung perhelatan perkawinan,”jelasnya.

      Untuk pelaksanan perkawinan secara adat, katanya, memiliki kesamaan dengan adat Bugis-Makassar sendiri,”Hanya perbedaan istilah yang sesuai dengan bahasa masing-masing. Contohnya, untuk malam pacar, kalau orang Makassar menyebut  Korongtigi,  sedangkan orang bugis menyebutnya dengan kata Mappaccing. Sementara itu,  orang Bantaeng menyebutnya  dengan kata  A’burangga,” katanya.


        Secara umum urutan perhelatan perkawinan secara adat Bantaeng, hampir sama dengan  adat Bugis-Makassar, yang di mulai dengan acara melamar, penentuan hari pelaksanaan perkawinan, penyerahan mahar, mengundang sanak keluarag dan kerabat, pensucian calon pengantin (A’burangga) dan  tradisi  usai pesta perkawinan.  A’burannga sendiri, kata Rakhmad, merupakan kata yang sarat makna.

       Menurutnya, A’burangga merupakan pensucian jiwa raga dari  kedua mempelai  yang akan duduk di pelaminan nantinya.,”Kata A’ berarti tidak, sedangkang bura artinya bohong, sementara ngga yakni jiwa dan raga. Sehingga diharapkan dari prosesi A’burangga itu, tidak ada lagi kebhongan pada jiwa dan raga kedua mempelai, saat akan mengarungi bahtera kehidupan bersama,”urainya.

      Lebih lanjut,  Rakhmad menjelaskan, bahwa sebelum tahap pelamaran pihak laki-laki kepada pihak wanita di mulai, terlebih dahulu pihak laki-laki  mengutus perwakilannya secara tidak resmi kepada pihak perempuan, inilah yang disebut dengan A’jangang-jangang.

      “Hal itu sebagai langkah awal pihak laki-laki untuk mengetahui  apakah si  perempuan tersebut sudah ada yang melamarnya. Dan  orang yang di utus itu,  biasanya  masih memilki kekerabatan dari keluarga perempuan itu sendiri. Salah satu tujuan dari A’jangang-jangang , yaitu  untuk mengetahui apakah si perempuan itu belum ada yang melamarnya,”ungkapnya.
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share
Additional JS